Friday, September 25, 2009

Pengaturan Ulang Blog

Tengah malam, diiringi lagu Super Junior M -Super Girl-

Belum lama, tepatnya tadi sore, ketika saya melihat-lihat kembali blog saya yang masih ancur-ancuran ini, saya berpikir untuk merenovasi penataannya. Selain mengganti template (yang mungkin nanti akan berganti lagi), saya juga memutuskan untuk memisahkan tulisan-tulisan tangan dengan obrolan atau celotehan kacau saya dalam blog yang terpisah. Ya saya pikir dengan begitu blognya akan lebih teratur.
Jadi untuk karya-karya saya yang lama telah saya pindahkan ke Coretan Tangan dan Buah Mimpi dan saya juga akan mengusahakan untuk karya baru. Paling tidak, saya membuat aturan untuk diri saya sendiri supaya tetap bisa berkarya.

Silahkan mampir ke blog cerpen-cerpen saya dan jika berkenan meninggalkan pesan dan kesan yang bisa membantu.

Thanks all ^^

Surga Alam di Curug Cilember

Lagi-lagi isi liburan minggu ini saya gunakan untuk berwisata kembali ke alam. Saya tahu bahwa kesempatan berlibur seperti ini akan sangat jarang ketika hari sudah mulai disibukkan dengan aktifitas pekerjaan. Jadi selagi ada waktu, kenapa tidak dilakukan?

Akhirnya saya memutuskan untuk mengunjungi salah satu objek wisata di daerah Bogor-Puncak. Jalanan tidak begitu macet, tetapi ketika keluar dari tol sempat terjadi hambatan yang cukup panjang. Belum lagi tanjakkan yang agak terjal. Cukup membuat perjalanan tersendat agak lama. Namun, iming-iming udara sejuk diiringi bunyi irama air terjun yang mengalir, membuat saya betah-betah saja menikmati kemacetan. Toh, sampai di sana semua kelelahan akan terbayar, pikiran saya waktu itu.



Untuk tiba di curug Cilember, kita harus melewati sekitar 30 km dari jalan keluar tol Jagorawi (arah puncak). Tidak begitu susah sebenarnya menemukan lokasi ini. Hanya butuh kejelian yang tahan lama, karena papan namanya tidak begitu jelas. Namun, tanpa butuh bertanya, anda pun bisa sampai di sana dengan selamat. Yang penting anda sudah memasuki kawasan Cipayung. Perhatikan plang yang ada di atas, di sebelah kanan jalan (jika anda bergerak dari arah bawah).

Setibanya di lokasi, mobil terpaksa diparkir 100 meter di bawah pintu masuk karena jalanan yang sangat sempit menyebabkan mobil agak sulit untuk masuk. Ditambah lagi saat itu sedang ramai sekali dikunjungi para wisatawan. Ya, saking penuhnya, ketika masuk pun saya yang sedikit kecewa lalu berpikir, 'ini sih apa bedanya dengan mal tumpah ke hutan?'. Dalam bayangan saya sebelum tiba di sana adalah nuansa Gunung Puntang yang masih sepi, yang melekat dalam benak saya. Kenyataan yang didapat ternyata jauh berbeda. Apalagi banyak pula perokok yang membuat udara segar menjadi sedikit tercemar. Tapi yang lebih parah adalah ketidaksaran para pengunjung dalam membuang sampah. Menurut saya sudah banyak tempat sampah yang dibuat, tetapi ternyata sampah masih banyak berserakan di rumput-rumput.


Bagian air terjun yang ke 7 juga sangat ramai dipadati manusia. Saya yang ingin bermain-main dengan air pun mengurungkan niat. Sulit menjangkau ke dekat air terjun karena padatnya orang-orang yang berebut ingin menikmati kesegaran air terjun. Akhirnya saya pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju air terjun no 6. Ya, dengan catatan paling tidak saya harus melalui jalur seperti mendaki gunung. Hanya saja tracknya tidak sesulit jika harus mendaki gunung sungguhan. Namun bagi saya yang tidak pernah naik gunung, jalanan menuju air terjun itu sudah cukup membuat saya kelelahan. Kaki saya pegal-pegal, padahal jalanan masih ada yang dibantu dengan beton. Meski waktu itu saya pernah mencoba melewati jalan pintas, yaitu dengan melewati bagian tanah yang dengan terpaksa harus sedikit merayap seperti cicak. Lumayan mengerikan bagi pemula seperti saya, memanjat tanah yang bisa saja longsor walaupun dengan sedikit bantan pijakan yang terbuat dari akar-akar pepohonan besar. Namun, itu semua adalah pengalaman baru bagi saya. Menyenangkan sekali.

Akhirnya dengan perjalanan yang sangat meletihkan (entah berapa kali melakukan break karena saya tidak kuat mendaki) saya dan adik saya pun tiba di air terjun no 6. Lumayanlah, meski tidak begitu memukau saya, namun kesejukkannya cukup memberi obat bagi keletihan saya. Kami sempatkan untuk berfoto sejenak dan juga merasakan dinginnya air karena di sana tidak seramai di bawah.

Setelah itu, kami pun memutuskan untuk melanjutkan pendakian (hahaha) menuju air terjun berikutnya. Tentu saja jalanan semakin menanjak. Kali ini jalur lintasan sudah murni hanya tanah-tanah pijakan dan akar-akar pohon yang besar. Tanjakan pun semakin lebih tinggi. Saya semakin merasakan letih. Parahnya, di tengah jalan yang sudah cukup memakan waktu dan tenaga itu, hujan gerimis mulai turun. Saya dan adik saya kebingungan bagaimana sebaiknya. Turun? Sayang karena sudah terlanjur jalan, Naik? tidak mungkin juga. Air terjun masih jauh dan jika hujan semakin besar maka jalan pulang kami akan licin sekali. Ditengah kebimbangan, kami bertemu dengan pendaki lainnya. Saling menyapa sejenak, kemudian ia menyarankan untuk turun saja karena air terjun masih jauh sementara hujan terasa semakin deras. Akhirnya dengan perhitungan kami yang masih awam dan tidak berencana menginap tenda di sana, kami pun turun. Bersama pendaki lainnya.

Sebenarnya turun tidaklah memakan banyak waktu, hanya perlu ekstra hati-hati. Tanah sudah mulai licin dan terasa begitu terjal. Jika tidak pelan-pelan, bisa saja tergelincir. Hanya saja, kaki saya yang bergetar karena kelelahan membuat jalan pulang saya sedikit kesulitan. Saya terus memaksakan diri supaya gemetaran di kaki bisa dikendalikan hingga saya tiba di bawah. Puji Tuhan semua pun berjalan lancar.
Saya merasa begitu senang bisa mendapat pengalaman baru yang tidak pernah terlintas di benak saya bahwa saya akan mendaki semi gunung itu.

Yang jelas, bagi saya sebenarnya curug Cilember adalah tempat yang istimewa. Hanya saja perlu ditingkatkan kesadaran pengunjungnya agar jangan membuang sampah semabarangan.

Monday, September 21, 2009

Wisata Alam : Gunung Puntang

Pertama lihat informasi mengenai wisata alam ini melalui sebuah majalah wanita. Di halaman tersebut, terpampang dengan jelas salah satu sisi bagian dari tempat ini. Nuansa hijau dan fresh yang saya lihat di sana, membuat saya langsung memutuskan 'ah, saya akan pergi ke tempat ini!'. Dan pilihan saya tidak merugikan. Akhirnya, tadi siang kami sekeluarga berangkat ke Bandung Selatan, daerah Banjaran desa Cimaung, tempat dimana wisata alam : Gunung Puntang ini berlokasi.

Mulanya, perjalanan menuju Bandung sendiri menemui sedikit hambatan. Jelas saja, di hari libur (yang bertepatan dengan lebaran) ini, Bandung merupakan salah satu objek tempat yang biasa disinggahi warga Jakarta. Sehingga kepadatan yang kami temui di jalan tol, sungguh membuang waktu. Belum lagi udara panas yang menyengat, membuat saya ingin cepat-cepat sampai tujuan. Sayang, apa daya, deretan penuh kendaraan tidak mungkin bisa dilewati oleh mobil kami. Dengan berat hati, kami pun harus ikut mengantri di barisan puluhan mobil tersebut.

Namun, ternyata bukan saja kemacetan yang menjadi pengulur waktu selama perjalanan. Ternyata kelalaian saya tidak membawa majalah tersebut sebagai peta kami menuju tempat tujuan, juga membuat kami berlama-lama di jalan. Tersesat! Ya, karena tidak ada yang tahu dimana letak Gunung Puntang tersebut. Hingga penggunaan internet melalui ponsel saya manfaatkan sedemikian rupa. Tertolonglah, dengan segera perjalanan menjadi lebih terarah berkat kecanggihan teknologi masa kini.

Tiba di Gunung Puntang sendiri, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Gila! Keberangkatan pukul setengah 10 dan harus tiba di Bandung pukul 3?! Rasanya seperti mustahil tapi itulah kenyataannya T^T
Pertama sampai di Gunung Puntang, saya terheran-heran dengan keadaannya yang ramai dan penuh oleh orang. Belum lagi malah ada kolam renang dan villa kayu. Dimana pohon-pohon besar dan nuansa hijau segar yang saya temui di dalam gambar di majalah tersebut? Saya sempat kecewa karena ternyata tempatnya tidak sesuai dengan yang saya bayangkan, namun ternyata setelah bertanya-tanya, tempat yang saya ingin tuju adalah bumi perkemahan yang letaknya masih 1 km lagi dari tempat yang salah saya tuju.
Jadi, jika anda berencana ke Gunung Puntang dan masih awam dengan lokasi, sebaiknya anda jangan memasuki daerah yang bernama Taman Bougenville Gunung Puntang karena tempatnya berbeda dengan lokasi bumi perkemahannya. Berjalanlah terus hingga bertemu pintu gerbang selanjutnya yang akan membawa anda pada pembayaran karcis senilai 5 ribu/orang (untuk kendaraan juga diwajibkan membayar).

Di lokasi ini terdapat goa peninggalan Belanda, yang bisa dilewati namun sedikit mengerikan. Tetapi dengan adanya pemandu yang membawakan lampu minyak sebagai penerangan (dalam Goa sangat gelap sekali hingga tidak bisa melihat apa-apa), saya merasa cukup tertolong. Ia juga memberi sedikit penjelasan tentang seluk beluk Goa. Jalanan dalam Goa penuh dengan bebatuan, hingga harus berhati-hati ketika berjalan.
Bahkan ketika tiba di ujung jalan keluar Goa, jalanan bebatuan tampak lebih licin karena menurut si pemandu, air itu berasal dari rembesan akar pohon. Pada saat hujan, lokasi itu malah jauh lebih licin dari biasanya.

Selain Goa Belanda dan rumah-rumah orang belanda yang hanya tinggal puing-puing, terdapat juga kolam cinta. Kolam ini sudah agak hancur, namun bentuk hatinya, jika diperhatikan masih cukup jelas. Airnya tidak kering, paling tidak, ketika saya melihatnya kolam tersebut sedang digunakan oleh sekelompok orang yang melakukan outbond. Selain kolam cinta, ada juga air terjun yang bisa dinikmati. Sayang membutuhkan waktu 2 jam untuk ditempuh dengan berjalan kaki. Jaraknya pun sejauh 3.5 km. Saya tidak punya cukup waktu, meski sangat ingin melakukannya. Tetapi, walaupun tidak bisa melihat air terjun tersebut, di dekat kolam cinta juga terdapat air terjun yang kecil yang bisa dinikmati juga. Airnya dingin dan menyegarkan.



Yang jelas, bumi perkemahan Gunung Puntang sangat indah. Udaranya segar meski saya sempat mencium sedikit adanya asap rokok dan juga udara yang agak berdebu karena jalan untuk mencapai ke sana sedikit berbatu-batu. Pepohonannya rindang, tinggi dan begitu indah. Rasa segar membayar segala kepenatan yang saya rasakan selama tinggal di Jakarta. Seandainya saja waktu banyak tersisa, saya pasti akan merasa betah untuk berjalan-jalan di sekitar sana. Namun, saya cukup puas meski hanya melihat-lihat sebentar keadaan di sana. Setidaknya saya bisa menghirup udara alam yang segar.

Tuesday, September 1, 2009

Bagaimana Menggambarkan Diri Sendiri?

Ketika ada pertanyaan mengenai bagaimana anda menggambarkan diri anda, otak saya langsung bekerja. Saya berusaha mencari kata yang tepat untuk benar-benar menggambarkan diri saya. Terus terang hal ini cukup sulit bagi saya, karena secara pribadi saya mungkin hampir tidak pernah melirik mengenai masalah saya adalah orang yang bagaimana. Ya, secara tidak langsung saya memang tidak pernah berusaha untuk mengenal lebih dekat siapa saya. Tetapi pertanyaan tersebut cukup membuat saya memutar otak dan berusaha untuk mengenal siapa diri saya lebih jauh lagi.
Namun, meskipun saya belum berusaha untuk mengenal diri lebih jauh, bukan berarti saya tidak bisa menggambarkan secara singkat mengenai diri saya. Paling tidak, ketika kita mengenal seseorang pun, kita bisa menilainya secara singkat melalui apa yang bisa kita lihat, bukan? Begitu pula dengan diri saya.

Jika saya mencoba menggambarkan diri saya, satu kata yang sempat terlintas begitu saja di kepala. Saya adalah orang yang senang menulis. Saya tidak mahir mengekspresikan apa yang saya rasa melalui sikap, tindakan maupun kata-kata secara langsung, tetapi saya merasa bahwa saya mampu melakukannya di atas kertas. Saya juga lebih menyukai sesuatu yang tenang, namun bukan berarti saya tidak pernah menyentuh keramaian. Hanya saja kenyamanan itu datang ketika saya sendiri, mendengarkan musik lembut, dan tidak ada satu pun orang berada di dekat saya. Maka saat itu pulalah pikiran saya akan terbang mencari imajinasi yang sesuai dengan lagu. Pada intinya saya termasuk wanita melankolis. Dan saya bangga dengan karakter tersebut.

Ini bukan masalah membanggakan diri sendiri atau yang lebih dikenal dengan ajang narsisme. Saya percaya semua orang tahu bahwa masing-masing mahluk Tuhan memiliki unsure positif dan negative, sebagai sebuah bentuk keseimbangan yang memang sudah seharusnya terjadi. Hanya saja, ketika saya menggambarkan diri saya sendiri, saya merasa harus memberikan sebuah unsure positif untuk bisa memajukan diri saya. Saya rasa itulah salah satu kegunaan pengenalan diri lebih jauh. Namun saya juga percaya, bahwa mengenal sifat negative dalam diri sendiri pun merupakan sebuah timbal balik untuk bisa menjadi sosok yang lebih mapan di masa mendatang. Ya, semua orang selalu belajar melalui kesalahannya sendiri, bukan?