Dari Jeju, perjalanan kembali ke Gimpo dan kemudian menginap semalam di Hongdae, Seoul. Selama semalaman, saya dan teman saya, menyaksikan NANTA--acara musikal yang menggabungkan martial art dengan masak-memasak.
Besoknya, menggunakan free shuttle bus, kami mengunjungi Jeonju. Kota di luar Seoul yang terkenal sama bibimbap-nya.
Karena masih termasuk kota kecil, banyak orang lanjut usia yang kurang begitu ramah terhadap turis dikarenakan tidak bisa berbahasa inggris. Tapi, ada anak muda yang bersemangat ngomong bahasa inggris dan membantu kami, meski susunan katanya kacau. Apalagi logatnya.
Di Jeonju inilah, kami nonton ke bioskop. Filmnya berjudul This Means War. Bioskop Korea ternyata punya studio yang bertingkat, tapi tempat duduknya kurang nyaman. Subtitlenya? Tulisan Hangeul. Saya berusaha keras biar bisa memahami bahasa inggris si bule-bule itu.
Besoknya lagi, kami pergi ke Jinan. Disanalah kami mendapat penampakan salju. Girangnya luar biasa, cenderung norak--malah. Maklum, seumur hidup cuma merasakan hujan dan panas. Di Jinan, kami mendaki bukit. Sayang, isinya orang lanjut usia semua. Padahal udaranya enak. Capek, sih. Tapi, sementara yang lain menggunakan pakaian hiking, cuma kami berdua yang paling trendy dengan mantel dan baju rapih.
Karena waktu tidak lagi cukup, kami kembali ke tempat pemberhentian free shuttle bus dan pulang ke Hongdae, Seoul.
Monday, April 23, 2012
Thursday, April 19, 2012
Korea in Picture 2
Ini adalah potongan lain dari Jeju Folk Village, dimana lokasi tersebut banyak dipakai untuk K-drama. Yang paling terkenal adalah Jang Geum.
Di Jeju, transportasi menggunakan bus. Tidak ada subway seperti di Seoul. Tapi, busnya nyaman, kok. Bayarnya menggunakan kartu atau cash yang dimasukkan ke dalam kotak di pintu masuk.
Bus di Jeju tidak akan menunggu hingga isinya penuh.
Bus di Jeju punya jam-jam kedatangan di tiap halte. Jadi, tidak perlu khawatir apakah ada bus lewat atau tidak. Cuma, tulisannya pakai Hangeul, jadi harus bisa baca. Atau kira-kira sajalah, nggak usah terlalu mahir.
Saya sempat bingung dengan jalanan di Jeju. Ada sebuah persimpangan (yang dibilang orang sana sebagai bundaran, padahal nggak ada bundaran apa-apa, cuma jalannya memang banyak cabang saja sehingga di bagian tengahnya mirip bundaran), dimana tidak ada lampu lalu lintas. Sewajarnya persimpangan di Jakarta, pasti akan mengalami kemacetan. Tapi, di sana tidak sama sekali. Mobil, sepeda motor dan bus yang melintas persimpangan itu selalu berhati-hati melintas. Lihat kanan-kiri. Jalanan pun tetap teratur.
Pengendara bus pun sopan. Pernah bus yang saya tumpangi menyerobot mobil polisi tanpa sengaja. Dia langsung menundukkan kepala dan jalan begitu saja. Tidak ada yang marah atau menggunakan kekuasaan sebagai polisi untuk bertindak. Saya rasa mereka punya toleransi yang tinggi.
Jalanan di Jeju lebar dan sepi. Kalau bukan lampu merah, kendaraan hampir tidak pernah tersendat. Jadi, perjalanan lama pun bukan karena macet. Tapi, karena memang kilometernya jauh.
Hmmm..., oh ya, angin di Korea itu kering dan dingin. Jadi pelembab wajah dari Indonesia tidak akan menolong. Kulit akan tetap kering. Karena itu sebaiknya membeli satu produk pelembab di gerai kosmetik di sana (ada banyak dan termasuk murah), tapi bisa bawa pelembab bibir dari Indonesia, Nivea. Itu ampuh menahan keringnya udara di sana.
Sekian dulu untuk Jeju.
Thursday, April 5, 2012
Korea in Picture 1
Kemarin saya sudah janji, ya, mau berbagi soal liburan di Korea Selatan. Saya pikir, biarkan gambar yang berbicara. Maka ini adalah tak seberapanya dari kepingan yang berhasil saya abadikan untuk dikenang. Inilah Korea Selatan, dimulai dari bagiannya. Pulau Jeju.
Kepingan Jeju-do dari view finder saya!
Kepingan Jeju-do dari view finder saya!
Pada Akhirnya Membandingkan...
Setelah berminggu-minggu mencampakkan si blog, akhirnya saya mau posting lagi. Mood sudah kembali, kesadaran sudah menghentak lagi. Saya kangen nulis blog.
Jadi, dua minggu kemarin saya sempat berlibur ke Korea, kawan. Tapi, cerita mengenai liburan itu belum saya posting. Untuk sekarang saya cuma mau memberi komentar untuk sebuah film yang saya tonton kemarin ini. Pergi ke bioskop itu pun berkat ajakan teman, yang kalau tidak diajak, saya tidak akan pernah nonton film ini meski di twitter ramai dibicarakan sebagai salah satu film yang konon katanya keren. Berulang kali saya lihat, wabah film ini memang meracuni di time line saya. Dan, akhirnya kemarin saya pun menontonnya. Itulah Hunger Games. Yang pada akhirnya membuat saya keluar dari bioskop dengan perasaan datar.
Kenapa?
Pertama-tama, saya pribadi tidak membaca bukunya. Saya murni nonton karena ajakan. Ada, sih, sedikit rasa penasaran karena orang di time line ramai membicarakannya. Tapi, tidak sepenasaran itu sampai membuat saya dengan sukarela atas niat sendiri datang menontonnya.
Teman saya bilang, Hunger Games itu seperti sebuah movie dari Jepang berjudul Battle Royale. Tunggu, jangan protes dulu. Hanya ide generalnya saja, kok. Saya tidak bilang ada unsur kesamaan persis. Ide general mirip, tentu bukan hal besar, kan? Saya penyuka film Battle Royale. Sadis. Tegang. Syok. Dan, segala rasa yang memacu adrenalin (meski saya penakut) dihadirkan dalam film itu. Iming-iming kalau Hanger Games mirip dengan Battle Royale membuat saya merasa kalau saya akan menyukai Hunger Games. Saya pun duduk tenang dalam bioskop. Lampu mulai dimatikan. Layar lebar mulai menampakkan gambar pembukaan. Saya mulai menyimak.
Oke, sepertinya menegangkan.
Tapi, sejurus kemudian saya berubah pikiran. Saya menanti ketegangannya semakin bertambah dibanding pembukaannya. Sayang, saya tidak mendapatkan hal itu. Sebaliknya, saya merasa datar. Saya pun berusaha sabar untuk menanti titik yang membuat mata saya tidak berkedip.
Sampai di tengah cerita lebih, dimana saya sudah mulai merasa bosan dengan duduk yang sambil menahan pipis (saya agak malas ke toilet kalau sedang menonton, kecuali filmnya bisa di-pause), saya cuma mendapat setengah ketegangan dari adegan pertempurannya. Bagi saya, pertempuran semacam itu seperti mengganjal. Sepertinya nanggung. Ketika sudah hampir mencapai puncak, mood tegang itu kembali diturunkan. Apalagi dalam film, sepertinya tokoh utama terlalu banyak mendapat luck (atau mungkin karena pin mockingjay itu?). Chemistry antar tokoh utamanya pun tidak sampai pada saya, membuat saya cuma sekedar mengaggumi tampang mereka yang memang tampan dan cantik. Dan, yang paling membuat saya kecewa adalah aturan dari Hunger Games yang diubah-ubah terus. Itu cukup mengganggu saya. Setidaknya saya menuntut penjelasannya yang tak kunjung ada. Maaf, untuk para fans Katniss Everdeen dan Peeta Mellark (saya sendiri suka dua orang ini, cakep-cakep, bok!).
Akhirnya, tiga puluh ribu melayang untuk sesuatu yang tak sesuai ekspetasi. Meski kata teman saya seharusnya saya membaca bukunya terlebih dulu. Di sana segala penjelasan yang mungkin saya harapkan, ada tertulis. Sayang, bukunya tak saya baca. Dan, ditambah lagi, mungkin karena genre film ini untuk remaja, maka beberapa kesadisan yang saya harapkan tadi (karena dibandingkannya langsung dengan BR) terpaksa dihilangkan. Entahlah.
Dan, begitu keluar dari bioskop, saya malah merindukan Battle Royale.
Sebuah film lama (2000) yang menceritakan tentang murid kelas sembilan yang harus saling membunuh di sebuah pulau terpencil. Hanya satu yang boleh pulang. Dan, dialah pemenangnya. Kira-kira begitulah garis besarnya.
Mirip, kan?
Coba saja tonton. Jangan meringis. Karena tidak akan ada adegan tanpa darah. Hihihi.
Jadi, dua minggu kemarin saya sempat berlibur ke Korea, kawan. Tapi, cerita mengenai liburan itu belum saya posting. Untuk sekarang saya cuma mau memberi komentar untuk sebuah film yang saya tonton kemarin ini. Pergi ke bioskop itu pun berkat ajakan teman, yang kalau tidak diajak, saya tidak akan pernah nonton film ini meski di twitter ramai dibicarakan sebagai salah satu film yang konon katanya keren. Berulang kali saya lihat, wabah film ini memang meracuni di time line saya. Dan, akhirnya kemarin saya pun menontonnya. Itulah Hunger Games. Yang pada akhirnya membuat saya keluar dari bioskop dengan perasaan datar.
Kenapa?
Pertama-tama, saya pribadi tidak membaca bukunya. Saya murni nonton karena ajakan. Ada, sih, sedikit rasa penasaran karena orang di time line ramai membicarakannya. Tapi, tidak sepenasaran itu sampai membuat saya dengan sukarela atas niat sendiri datang menontonnya.
Teman saya bilang, Hunger Games itu seperti sebuah movie dari Jepang berjudul Battle Royale. Tunggu, jangan protes dulu. Hanya ide generalnya saja, kok. Saya tidak bilang ada unsur kesamaan persis. Ide general mirip, tentu bukan hal besar, kan? Saya penyuka film Battle Royale. Sadis. Tegang. Syok. Dan, segala rasa yang memacu adrenalin (meski saya penakut) dihadirkan dalam film itu. Iming-iming kalau Hanger Games mirip dengan Battle Royale membuat saya merasa kalau saya akan menyukai Hunger Games. Saya pun duduk tenang dalam bioskop. Lampu mulai dimatikan. Layar lebar mulai menampakkan gambar pembukaan. Saya mulai menyimak.
Oke, sepertinya menegangkan.
Tapi, sejurus kemudian saya berubah pikiran. Saya menanti ketegangannya semakin bertambah dibanding pembukaannya. Sayang, saya tidak mendapatkan hal itu. Sebaliknya, saya merasa datar. Saya pun berusaha sabar untuk menanti titik yang membuat mata saya tidak berkedip.
Sampai di tengah cerita lebih, dimana saya sudah mulai merasa bosan dengan duduk yang sambil menahan pipis (saya agak malas ke toilet kalau sedang menonton, kecuali filmnya bisa di-pause), saya cuma mendapat setengah ketegangan dari adegan pertempurannya. Bagi saya, pertempuran semacam itu seperti mengganjal. Sepertinya nanggung. Ketika sudah hampir mencapai puncak, mood tegang itu kembali diturunkan. Apalagi dalam film, sepertinya tokoh utama terlalu banyak mendapat luck (atau mungkin karena pin mockingjay itu?). Chemistry antar tokoh utamanya pun tidak sampai pada saya, membuat saya cuma sekedar mengaggumi tampang mereka yang memang tampan dan cantik. Dan, yang paling membuat saya kecewa adalah aturan dari Hunger Games yang diubah-ubah terus. Itu cukup mengganggu saya. Setidaknya saya menuntut penjelasannya yang tak kunjung ada. Maaf, untuk para fans Katniss Everdeen dan Peeta Mellark (saya sendiri suka dua orang ini, cakep-cakep, bok!).
Akhirnya, tiga puluh ribu melayang untuk sesuatu yang tak sesuai ekspetasi. Meski kata teman saya seharusnya saya membaca bukunya terlebih dulu. Di sana segala penjelasan yang mungkin saya harapkan, ada tertulis. Sayang, bukunya tak saya baca. Dan, ditambah lagi, mungkin karena genre film ini untuk remaja, maka beberapa kesadisan yang saya harapkan tadi (karena dibandingkannya langsung dengan BR) terpaksa dihilangkan. Entahlah.
Dan, begitu keluar dari bioskop, saya malah merindukan Battle Royale.
Sebuah film lama (2000) yang menceritakan tentang murid kelas sembilan yang harus saling membunuh di sebuah pulau terpencil. Hanya satu yang boleh pulang. Dan, dialah pemenangnya. Kira-kira begitulah garis besarnya.
Mirip, kan?
Coba saja tonton. Jangan meringis. Karena tidak akan ada adegan tanpa darah. Hihihi.
Subscribe to:
Posts (Atom)