Friday, March 25, 2011
Tuesday, March 22, 2011
PECAH JUGA
Satu per satu mulai diperhitungkan. Untung dan rugi beradu dalam timbangan harga diri yang tak pernah mau seimbang. Bahkan Dewi Libra tak mau timbangannya sejajar. Terkadang, dia membiarkan untung yang berdiri di atas segalanya. Pribadi menjadi serakah dan terkesan maruk pun menjadi halal ketika bisa membawa kebahagiaan. Lalu lepaslah segala bentuk hubungan ketika ada titik keluhan yang hadir membayang. Dia bukan untung. Kilahnya. Seperti itu. Santai.
Siapa yang mau dijejali muntahan kata-kata yang mendayu biru? Siapa yang ingin membantu memimpin keluar dari labirin? Siapa yang mau capek mengambilkan cahaya ketenangan untuk gelap? Untuk malam ini, malam seterusnya, tak pernah mau ada tumpahan kata-kata, tak pernah mau ada labirin, tak pernah mau ambilkan cahaya. Untuk malam ini, malam seterusnya, selalu ada untuk pantulan wajah sendiri di cermin. Setiap kepala memiliki kisahnya masing-masing, tapi bukan sebuah khilahan untuk tidak melirik ke bagian lain. Sedikit empati bisa menjadi seharga ratusan juta rupiah jika diberikan dengan tulus. Bahkan tak mampu membeli istana Presiden sekali pun.
Tanpa pernah berpikir menjadi orang gila yang haus ucapan terima kasih setiap kali orang melintas di depannya, atau sebuah bentuk hormat yang harus diberikan, ada kalanya satu kata sihir itu pantaslah diutarakan melalui sikap. Bukan berbentuk huruf. T. E. R. I. M. A. K. A. S. I. H. Terlalu basi, lebih basi daripada nasi busuk. Sudah muntah berkali-kali diberi nasi basi. Tapi, masih saja bungkam dan berkata nasi itu bukan nasi basi.
Dan, pada akhirnya, dia masih saja tetap tertawa bahagia ketika perut ini sudah melilit karena nasi basi. Kali ini, terima kasih. Ada mata hati yang terbuka. Untuk paham.
Ada dua jenis manusia di dunia ini. Terserah apa katamu, pria atau wanita.
Tuesday, March 15, 2011
Keluarga Baru
Perkenalkan keluarga baru saya.
Bermula dari Si Emak, alias DSLR Canon Kit 500D yang saya beli dengan susah payah, lalu kemudian lahirlah Si Octo yang merupakan salah satu jenis peranakan ToyCam yang lucu dan imut-imut, dan yang terakhir hadirlah Si Fuji, anak tiri yang lahir di tahun 70-an, dan baru diketemukan wujudnya ketika saya ingat bahwa Papa saya memiliki kamera jadul.
Ketiga kamera itu yang saat ini mengalihkan perhatian saya.
Meskipun saya harus masuk ke dalam keluarga dua jaman : digital dan analog, tapi saya tak peduli. Kemana tujuannya masih belum jelas. Yang saya tau, saya suka dengan hasil keduanya. Sementara Si Emak menghasilkan gambar dengan kualitas tone yang tajam, si anak-anak ini (eh Si Fuji belum tau hasil akhirnya) memberikan permainan warna yang menarik. Tanpa melewati proses pencucian di photosop.
-warung pinggiran-
-circle light-
Jadi, sekarang ini waktu saya banyak tersita untuk mereka.
Tapi, sayangnya saya belum pernah berkesempatan untuk mengikuti seminar atau semacam kursus untuk menguasai Si Emak. Kemarin ini saya tak sengaja menemukan sebuah seminar dimana salah satu pembicara (atau tamunya ya?) ternyata adalah Mas Agus yang blognya suka saya kunjungi (pengin dikasih keripik pedes soal jepretan saya sama beliau >_<) Tadinya saya mau ikutan seminarnya, tapi ternyata sudah full >_<
Ya sudah, saya urungkan niat untuk ikut seminar. Lagipula saya masih bingung mau ajak siapa yang mau seminaran.
Yang jelas, saya senang terjun ke dunia jepret-menjepret.
Ternyata, sangat sangat sangat mengasyikkan *^____^*
Tuesday, March 8, 2011
easy way to accept credit card
Lately, more online sales have been increased. With a variety of payment methods available, making many people feel helped by the existence of this online shopping. Either cash or by credit card can, too. Not only online shopping, shopping direct any person who rarely spends cash. Usually too, payments via the internet is also available to further simplify the consumer shopping. The easier way transactions, has increased sales because nowadays many people prefer the word practical.
However, lately, for easier transactions much more secure, have a link to accept credit cards also will bring more consumers. In addition to avoiding unexpected crime, it can also increase the value of sales of the business that is being executed. Having a separate site that is able to accept credit cards will give more opportunities for business that is tried.
One of the considerable efforts to bring consumers is food. As a restaurant that wants to give good service to consumers, it would be better if this business owner has a restaurant merchant account. This will assist in transactions between consumers and business owners.
Sunday, March 6, 2011
Jakarta Love Riot - The Musical Drama
Untuk pertama kalinya dalam hidup saya akhirnya menginjakkan kaki di Gedung Kesenian Jakarta. Pada tanggal 26 Februari 2011 kemarin, di tempat tersebut, dilangsungkan pementasan sebuah drama musikal berjudul Jakarta Love Riot. Merupakan salah satu pertunjukan persembahan Eki Dance Company bersama Kompas Gramedia, yang terselenggara selama seminggu penuh, dan berakhir di tanggal 27 Februari, bersamaan juga dengan berakhirnya Kompas Gramedia Fair yang diadakan di Senayan.
Acara dimulai pukul setengah 8 malam--begitulah yang ditulis dalam tiket undangan, tapi pukul setengah 7, saya sudah memarkirkan mobil di area parkir gedung tersebut. Terlalu awal memang, tapi saya tidak mau acara menonton drama musikal untuk pertama kalinya itu menjadi batal hanya karena terjebak macet, karena itulah saya memutuskan berangkat lebih cepat.
Sampai di sana, perut merongrong minta diisi. Bersama teman saya, kami pun menyebrangi jalan dan memutuskan makan di sebuah tempat steak (meski tadinya kami mau makan A&W yang berada di dalam kawasan Pasar Baru, tapi tidak jadi karena cukup jauh ditempuh dengan jalan kaki). Setidaknya steak ini bisa mengisi kekosongan perut untuk sementara.
Selesai makan, setengah delapan kurang sepuluh. Kami langsung kembali ke gedung pertunjukkan. Di pintu masuk, kami menunjukkan tiket undangan yang saya dapat dari kantor (hehehehe~~) dan kami pun dipersilahkan masuk, tapi ruang pertunjukkan masih ditutup. Butuh beberapa menit menunggu, baru kami bisa memasuki ruang pertunjukkan yang langsung membuat saya kagum (katroknya nggak bisa disembunyikan, hehehe~~). Ternyata pertunjukkan tak langsung dimulai. Semua penonton harus memenuhi tempat dahulu baru kemudian sebuah pengumuman berdengung di ruangan itu. Selama pertunjukkan berlangsung, para penonton tidak boleh memotret, merekam, atau membuat suara apa pun. Hanya beberapa rekan media yang boleh menggunakan kamera.
Dan, pertunjukkan pun dimulai setelah lampu padam.
Panggung langsung diisi dengan lima orang yang menari. Kostumnya unik sekali, menggunakan lilitan lampu yang bisa berubah warna. Keren sekali...
Selama pertunjukkan itu pun saya banyak tertawa, terutama begitu Sarah Sechan (saya kebagian Sarah Sechan, karena selain beliau, ada Cut Tari juga yang memerankan karakter yang sama) muncul ke panggung. She's totally awesome. Nggak jaim, nggak peduli apa-apa. Dia benar-benar all out dengan semua aksi "gila"nya. Mungkin bagian Sarah Sechan-lah yang paling membuat saya berkesan dengan drama itu. Selebihnya bukan berarti saya tidak menikmati keseluruhan acara. Justru saya sangat menikmatinya. Tiap koreo dari tari-tariannya, lighting yang menawan, tata panggung yang pas, setting yang setiap scene bisa berubah. Semuanya keren. Hanya saja, jika dilihat dari alur cerita, saya tidak terlalu terkesan. Katakanlah, inti ceritanya tak terlalu berbeda dengan apa yang sudah ada kebanyakan : cewek kaya berpacaran dengan cowok miskin (dalam Jakarta Love Riot, dikisahkan cowok miskin ini adalah penjual soto bernama Toto).
Tapi, saya cukup terhibur, kok.
Setidaknya, ini pertama kalinya saya menonton drama musikal dan saya tak merasa waktu bergerak lama. Tau-tau sudah selesai. Padahal saya masih mau lihat lagi.
Wednesday, March 2, 2011
Harganya seratus ribu!
Jadi, saya datang ke sebuah toko atau rumah makan sederhana, menikmati jasa atau membeli barang di dalamnya, lalu ketika bertanya berapa harganya, si penjual akan menerapkan tarif yang agak tidak masuk di akal untuk sebuah jasa / barang tersebut.
Kemarin ini, berbekal hasrat untuk membuat sebuah dress mengkopi model hanbok (pakaian tradisional Korea) modern, saya pun pergi ke sebuah tukang jahit di depan komplek perumahaan. Berdasar rekomen dari teman yang memuji hasil si penjahit itu, saya menjadi tertarik, ditambah lagi jarak yang tak terlalu jauh. Saya datang ke studio kecilnya yang berupa sebuah rumah tinggal. Konsultasi dan ukur-ukur pun terjadi. Tak ada masalah. Sampai ketika perhitungan pun dimulai. Saya shock begitu melihat harga akhir yang harus saya bayar untuk hanbok modern yang saya inginkan. Harganya 480.000 saja!! *nada saja-nya dibuat sarkasme*
Kebiasaan orang Indonesia pun keluar. Tawar-menawar dilakukan.
Sayangnya, tak ada pengurangan yang sangat berarti. Hanya berkurang 50.000.
Saya pun berpikir, mungkin memang segitu harusnya. Tapi, saya mendapat selintingan pendapat bahwa harga segitu termasuk MAHAL untuk ukuran penjahit rumahan.
Masalahnya, harga yang dia tawarkan tidak include dengan fabric!
Alhasil saya pun putar otak. Saya pun mencari bahan yang saya inginkan, sambil berpikir ulang soal menggunakan jasa penjahit itu atau mencari penjahit lain.
Pada akhirnya saya menelpon salah satu teman kuliah yang kebetulan Ibunya seorang penjahit juga. Kalau bukan karena masalah jarak, sejak awal saya sudah minta tolong beliau menjahitkan hanbok saya. Dan, padanya saya bercerita soal harga setinggi itu. Beliau pun shock. Katanya itu bukan saja mahal, tapi MAHAL BANGET. Okelah kalau dia sekelas Ivan Gunawan, Anna Avante, atau desainer yang lain.
Dari situlah saya kemudian merujuk pada si Tante ini. At least, beliau bisa memberikan harga teman karena saya dan anaknya sudah kenal lama *nyengir*
Sekarang bahan yang sudah saya beli itu, bertengger manis di rumah teman saya, menanti giliran untuk disulap menjadi dress sederhana berbentuk seperti hanbok di tangan Tante itu.
Hasilnya bagaimana, saya belum tau.
Tapi, setau saya hasil jahitan beliau memang rapih dan bagus di badan.
Dari kisah saya itu, saya cuma kebingungan saja. Kenapa ya, para pedagang tak pernah segan untuk "menggetok" harga sedemikian mahal seenak hatinya? Apakah karena saya mudah ditipu atau apa, saya nggak tau. Cuma saja, saya tidak terlalu suka pada orang-orang sombong yang mentarifkan harga selangit seenaknya saja. Yah, setidaknya begitulah apa yang menjadi pendapat saya.
*kira-kira seperti inilah hanbok modern yang mau saya buat*
:)