Dia tertawa, saat yang lain ikut tertawa. Tapi, tawanya masih menempel, di saat yang lain menangis. Lalu dia pergi mencari tawa lainnya yang tak berkesudahan. Tawanya bisa semakin lebar jika satu perintah darinya ditunduki oleh para bawahan. Dan, ketika semuanya kembali pada titik bernama uang, maka tak ada lagi status yang membatasi untuk meraupnya seorang diri. Bahkan kepercayaan dan dedikasi seolah terinjak oleh raksasa berwarna hijau itu. Keberadaannya kalah oleh kekuasaan yang semu.
Satu per satu mulai diperhitungkan. Untung dan rugi beradu dalam timbangan harga diri yang tak pernah mau seimbang. Bahkan Dewi Libra tak mau timbangannya sejajar. Terkadang, dia membiarkan untung yang berdiri di atas segalanya. Pribadi menjadi serakah dan terkesan maruk pun menjadi halal ketika bisa membawa kebahagiaan. Lalu lepaslah segala bentuk hubungan ketika ada titik keluhan yang hadir membayang. Dia bukan untung. Kilahnya. Seperti itu. Santai.
Siapa yang mau dijejali muntahan kata-kata yang mendayu biru? Siapa yang ingin membantu memimpin keluar dari labirin? Siapa yang mau capek mengambilkan cahaya ketenangan untuk gelap? Untuk malam ini, malam seterusnya, tak pernah mau ada tumpahan kata-kata, tak pernah mau ada labirin, tak pernah mau ambilkan cahaya. Untuk malam ini, malam seterusnya, selalu ada untuk pantulan wajah sendiri di cermin. Setiap kepala memiliki kisahnya masing-masing, tapi bukan sebuah khilahan untuk tidak melirik ke bagian lain. Sedikit empati bisa menjadi seharga ratusan juta rupiah jika diberikan dengan tulus. Bahkan tak mampu membeli istana Presiden sekali pun.
Tanpa pernah berpikir menjadi orang gila yang haus ucapan terima kasih setiap kali orang melintas di depannya, atau sebuah bentuk hormat yang harus diberikan, ada kalanya satu kata sihir itu pantaslah diutarakan melalui sikap. Bukan berbentuk huruf. T. E. R. I. M. A. K. A. S. I. H. Terlalu basi, lebih basi daripada nasi busuk. Sudah muntah berkali-kali diberi nasi basi. Tapi, masih saja bungkam dan berkata nasi itu bukan nasi basi.
Dan, pada akhirnya, dia masih saja tetap tertawa bahagia ketika perut ini sudah melilit karena nasi basi. Kali ini, terima kasih. Ada mata hati yang terbuka. Untuk paham.
Ada dua jenis manusia di dunia ini. Terserah apa katamu, pria atau wanita.
10 comments:
ka,, apanya yang pecah ?? hihihi.. celengan ya??*ga nyambungdotcom* :)
Dipecahkan atau pecah sendiri nich...
benar-benar pecah sudah...*_*
tadinya pas baca judulnya.....kirain ada sesuatu yang terjadi untuk pertama kalinya (tlurnya pecah).....eh ternyata bukan ya wkwkwkwkwkwkw
Empati memang sangat 'berharga' mbak. Aku setuju banget utk hal itu.
Manusia serakah ada dimana2... :(
Yang pecah apanya, tante?
Emmmm... shasa bingung bacanya.
Aku tak mengerti... apa ini, keluh kesah? cerpen? atau apa?
Hehehe....Bu Bunting kudu baca ulang neh, soalnya dibaca sekali ko yah ga paham maksudnya apa :-)
Post a Comment