Friday, September 30, 2011

LIMA RIBU saja!

The day 1.

Ini hari pertama saya masuk ke kelas Simulasi Noryouku Shiken. Di hari pertama setiap peserta harus melakukan pendaftaran ulang disertai membayar uang simulasi sebesar 160.00 rupiah.

Karena jalanan macet, saya pun tergesa-gesa memarkir mobil di Plaza Senayan (yang astaganagakudalumping penuhnya nggak ketolongan), lalu berjalan melewati Ratu Plaza menuju Japan Foundation di seberang sana. Tak lupa saya menghubungi salah satu rekanan yang juga ikut kelas simulasi tersebut untuk menanyakan keberadaannya. Dia masih di tengah jalan. Setengah keringatan, saya tiba di Japan Foundation, untungnya masih tepat waktu.

Saya masuk ke ruangan itu, menuju meja pendaftaran ulang.

Dengan kerennya saya mengeluarkan foto, fotokopi KTP dan uang pendaftaran senilai 160.000 tadi…, dan disanalah saya baru sadar. Uang saya KURANG lima ribu saja! LIMA RIBU sodara-sodara!

Gila, betapa malunya saya.

Mau mengambil uang di mobil, tentu tidak mungkin karena Plaza Senayan ada di sana dan JF ada di sini (abaikan saja pola kalimat aneh ini, intinya letak mal itu masih lumayan jauh dari gedung JF). Lalu saya teringat dengan rekanan saya. Buru-buru saya SMS dia.

“Mir, kalo sudah sampai, tlg kasih tau aku. Aku butuh pinjaman dana.”

Hiks. Akhirnya saya pun menunggu kedatangannya di toilet.

Tak lama SMS datang. Dari rekanan yang mengatakan kalau dia sudah tiba di ruang pendaftaran. Dan, bahkan sudah melakukan daftar ulang.

Dengan malu-malu saya meminjam LIMA RIBU darinya dan segera melakukan ulang transaksi daftar ulang ( bukan typo) memalukan itu. Ehhh, di tengah rempongnya saya menyusrukkan barang (kwitasi dan tanda pengenal yang diberikan oleh panitia) ke dalam tas, tiba-tiba ponsel saya bordering kencang sekali.

“Hateshinai …. Bla bla (OST Pocari Sweat)”

Begitu saya melihat nomornya, rupanya teman saya yang duduk beberapa meter dari tempat saya berdiri itulah yang menelpon. *tepok jidat*

Tapi, berkat dia saya tidak jadi malu-maluin lagi karena insiden kurang LIMA RIBU itu.

Dan, meski agak letih, saya pun bisa mengikuti pelajaran simulasi malam itu (yang dimulai dengan moji goi alias latihan kosa kata dan kanji yang langsung bikin kepala saya serasa terkena penciutan dini).

Monday, September 26, 2011

Egois itu Rasa

Ada manusia yang tidak punya ego?

Coba seret orang itu pada saya.

Bagi saya, ego dan manusia itu sudah satu paket. Seperti super panas di macdonald. Atau seperti pasangan sendok dan garpu. Juga sumpit yang selalu ada dua. Ini tampak mulai ngelantur analogi, sih. Tapi, intinya seperti itu. Sulit dipisahkan. Karena entah dengan teknologi apa, ego itu seperti chip dalam diri manusia. Dia mengakar dengan luas dan membuat tandanya sendiri di sudut hati. Dan, dia mengendalikan hati.
Maka dengan bibit ego yang dipelihara, maka tumbuhlah ketidakpekaan dengan orang lain, hanya mencari keuntungan semata, tidak memikirkan perasaan orang lain. Hingga suatu ketika saat saya sedang berada di balik kemudi mobil dan melaju dalam kesendirian, saya mengambil kesimpulan, peliharalah ego, tapi jangan biarkan dia tumbuh subur.

Jika bertanya kenapa, jawabannya (mudah) menurut saya. Karena tanpa ego setitik, rusak susu sebelanga. Tanpa ego, manusia bisa memberikan dirinya untuk dikendalikan. Namun, terlalu subur ego, manusia telah menggali lubangnya sendiri untuk mati.
Saya menulis seperti ini setelah bertemu dengan dua orang yang memiliki kadar egoisitas di peringkat tertinggi deretan manusia dalam hidup saya. Tak perlu menyebut nama. Yang jelas, saya merasa sangat kecewa, tapi seperti orang dungu, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Jika sudah kecewa, saya yang cengeng bisa saja menangis (tapi itu dulu) atau langsung mengalami mood swing yang sangat drastis.

Tapi, manusia itu terus belajar.

Suatu saat saya berpikir dan menemukan sesuatu dalam kepala. Bahwa, melawan ego itu seperti mendapat ujian noryouku shaken tingkat 2. Sulit, tapi pasti bisa ditaklukan jika kita mengetahui caranya dan belajar.

Hmmm…, jika ada yang punya tips atau trik lainnya yang lebih baik, dengan senang hati silahkan berbagi. Tapi, dari sudut pandang dan pengamatan saya, hanya dua cara (saya baru menemukan itu) untuk mengatasi kejengkelan diri terhadap mahluk dengan egoisitas yang kadarnya agak tidak manusiawi.

Tulus atau mengandalkan kekuatan pikiran untuk mencari hal lucu.
Itu saja.
Jangan tanya betapa sulitnya. Bahkan sun go kong harus melewati banyak rintangan sebelum tiba untuk mengambil kitab suci. Tapi, begitulah hidup.